medanToday.com,JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan sejumlah kepala daerah tak pernah mendengar imbauan KPK setiap lembaganya melakukan sosialisasi ke daerah-daerah.
Menurut Saut, KPK seperti ‘kambing congek’ di mata kepala daerah yang beberapa waktu lalu tersangkut kasus korupsi.
“Jadi kelihatannya memang kami hadir di daerah, ini kayak kambing congek. Didengar, didengar, didengar, kami balik, dia ambil lagi,” ujar Saut dalam rapat dengan Komisi III DPR dengan KPK di Gedung DPR, Jakarta, Senin (23/7).
Saut menegaskan KPK sudah melakukan sosialisasi pencegahan korupsi di semua daerah. Bahkan, KPK telah membuat program khusus untuk meningkatkan integritas kepala daerah, yakni Komite Advokasi Nasional dan Daerah.
Komite itu, kata Saut, ditujukan untuk mencegah korupsi di sektor swasta yang melibatkan penyelenggara negara di daerah. KPK bahkan menggandeng Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dalam program tersebut.
Beberapa kepala daerah yang dianggap tidak mendengarkan imbauan sosialisasi KPK, Saut menyebut adalah Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara.Khusus Aceh, Saut bahkan mengaku sempat bertemu dengan Irwandi Yusuf dalam sosialiasi pada bulan April 2018 sebelum ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan.
“April itu saya ketemu di Aceh. Gubernur ketemu dengan pengusaha. Kemudian Juni kena OTT yang bersangkutan,” ujarnya.
BACA JUGA:
Kronologi Lengkap GUBERNUR ACEH & BUPATI BENER MERIAH Terjaring OTT KPK
Terkait banyaknya kepala daerah terjaring KPK, Saut meminta adanya pembenahan serius di tingkat daerah. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan berdasarkan hasil evaluasi dan pemetaan KPK, ada lima jenis sektor korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah.
Pertama, kata Alexander, terjadi di palengadaan barang dan jasa. Ia berkata 80 persen perkara korupsi di daerah menyangkut hal tersebut. Empat jenis korupsi di daerah yang lain, yakni perizinan, penganggaran, jual beli jabatan, dan lemahnya pengawasan.
Dari hasil evaluasi, Alexander mengatakan salah satu penyebab kepala daerah korupsi terkait dengan rendahnya gaji. Ia berkata gaji kepala daerah tidak sebanding dengan biaya politik saat mencalonkan diri di Pilkada.
“Rasa-rasanya kalau mereka untuk mendapatkan posisi Bupati atau Wali Kota memerlukan miliaran rupiah, tapi dengan penghasilan yang minim ya mungkin saya tidak tahu integritas itu bisa luntur,” ujar Alexander.
Dalam konteks perijinan, Alexander mengklaim KPK sudah menbuat sistem bernama e-PTSP. Sistem itu diharapkan membuat perijinan berjalan dengan transparan dan dapat dipantau oleh masyarakat.
Di dalam sistem itu, KPK menekankan biaya dan lama waktu untuk membuat sebuah ijin usaha. Dalam konteks jual beli jabatan, Alexander menjelaskan hal itu terjadi karena kepala daerah berkuasa penuh atas mutasi jabatan pegawai Pemda.
Atas kewenangan itu, ia mencontohkan seorang pegawai di bidang pelelangan harus mengikuti perintah oknum kepala daerah untuk memenangankan perusahaan tertentu untuk menggarao proyek milik daerah.
“Mereka tahu apa yang dilakukan menyalahi ketentuan. Meraka tahu peserta-peserta lelang sudah diatur di luar. Tapi kembali lagi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada jaminan keamanan karir mereka,” ujarnya.
Lebih dari itu, Alexander menyatakan KPK mengusulkan pemerintah pusat memegang penuh proses pengadaan barang dan jasa dengan nilai minimal Rp1 miliar. Dengan cara itu, KPK menilai daerah hanya sebagai pihak perencana.
“Sehingga mereka tidak ada peluang kongkalikong dalam pengadaan barang dan jasa,” ujar Alexander.(mtd/min)
==================