medanToday.com,MEDAN – Sampah masih menjadi permasalahan pelik di perkotaan. Tak terkecuali di Medan. Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara itu bahkan mendapat predikat Kota Metropolitan Terkotor dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Hal itu disampaikan Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian LHK Rosa Vivien Ratnawati saat pemberian penghargaan Adipura 2018 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Senin lalu. (14/1),
“Kota terkotor metropolitan yaitu Kota Medan. Kota besar Bandar Lampung dan Manado. Kota sedang Sorong, Kupang dan Palu. Untuk kota kecil kebetulan berada di wilayah timur semua, yaitu Waykabubak, Waisai, Ruten, Buol dan Bajawa,” kata Rosa.
Predikat metropolitan terkotor itu memang tak sekadar isapan jempol. Medan layak menyandang status itu. Selama ini Pemkot Medan memang sudah berusaha. Namun hasilnya belum kentara.
Sampah masih banyak ditemukan. Mulai dari sungai, drainase hingga parit kecil sekalipun dijadikan tong sampah para warga. Yang menjadi pertanyaan mendasar, apakah memang tong sampah di Kota Medan tidak mencukupi? Atau kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan yang kurang?
Sampah memang menjadi polemik yang tak kunjung usai di Medan. Sudah saban kali berganti pemimpin, persoalan sampah di Medan seperti benang kusut yang tak mampu diuraikan.
Coba lihat kondisi Sungai Deli. Sungai yang dalam sejarahnya menjadi jalur perdagangan pada era kolonial itu kondisinya saat ini sungguh miris. Sampah menumpuk nyaris di sepanjang bibir sungai.
Penyebabnya cukup banyak. Mulai dari limbah, hingga sampah rumahan yang dihasilkan rumah-rumah di sekitar bantaran Sungai Deli.
Sungai Deli juga tak indah lagi seperti cerita orang-orang tua zaman dulu. Di beberapa titik, pemukiman penduduk berjajar dengan semrawut. Maka jangan heran jika setiap hujan deras mengguyur, Medan jadi langganan banjir.
Irawan, seorang warga Pinggiran Sungai Deli di Kecamatan Maimun mengatakan, dirinya sudah lama membuang sampah di Sungai Deli. Bahkan dia tak sungkan mengaku bahwa perilakunya itu sudah dilakoni selama puluhan tahun.
Laki-laki sepuh itu merasa selama ini Pemkot Medan tidak melakukan tindakan. Seperti mengangkut sampah yang ada di kawasan pemukimannya.
“Kalau warga pinggiran sini, hampir seluruhnya buang sampah ke sungai,” ujarnya, Rabu petang (15/1).
Sungai Deli jadi contoh potret buruk pencemaran lingkungan di Medan. Padahal tak sedikit masyarakat yang memanfaatkan Sungai Deli untuk keperluan sehari-hari. Mulai mencuci pakaian, mandi, bahkan masih ada warga yang buang air di sana. Parahnya, anak-anak di sekitar sungai masih saja betah bermain air.
Selain sungai, kondisi drainase di beberapa titik di Medan juga setali tiga uang. Misalnya saja drainase yang berada di Kelurahan Sei Kera, Kecamatan Medan Perjuangan. Saking kotornya, warga menamainya dengan sebutan Parbus. Akronim dari Parit Busuk.
Warna airnya hitam. Baunya menyengat. Jika kita melintas di sana, spontan pasti akan cepat-cepat menutup hidung. Parahnya, Parbus juga dipenuhi sampah. Mulai sampah plastik hingga sisa sisa makanan.
Ramlan, warga lama yang menetap di sekitar sana menjelaskan, dulunya air di Parbus jernih. Bahkan masih menjadi rumah yang nyaman bagi ikan-ikan.
“Sudah tujuh belas kali ganti lurah. Tapi masalah sampah juga tidak kunjung selesai,” keluh Ramlan.
Ramlan mengakui bahwa masyarakat di kawasan itu kerap membuang sampah ke parit. Padahal sudah ada tempat pembuangan sampah sementara di dekat Kantor Lurah Sei Kera. Sayangnya, dinas terkait juga jarang mengangkat sampah di kawasan itu.
“Terkadang seminggu dua kali, kadang sampah yang berbau busuk tak diangkat. Makanya banyak masyarakat yang memilih buang sampah ke parit,” tambahnya.
Sebelumnya dalam keterangan resminya, Pemko Medan menolak dikatakan sebagai Kota Terkotor. Mereka berkelit jika penilaian hanya berdasarkan bobot yang ditentukan, salah satunya yang paling utama adalah pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dalam penilaian TPA tersebut, Kota Medan mendapat penilaian rendah karena masih menggunakan open dumping bukan sanitary landfill.
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Medan H M Husni juga sudah berkonsultasi dengan Kementerian LHK. Dia menjelaskan, pengelolaan sistem sanitary landfil yakni melakukan pemusnahan dengan cara membuang dan menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkannya, lalu menimbunya dengan tanah. Sehingga memberikan dampak positif bagi sekitar TPA. Selain tidak menimbulkan bau dan penyakit, sanitary landfill juga dapat meninggikan lokasi rendah yang ada di TPA.
“Sedangkan pengelolaan sampah yang kami lakukan di TPA Terjun selama ini menggunakan sistem open dumping. Yakni sistem yang paling sederhana, di mana sampah dibuang begitu saja di TPA tanpa dilakukan pengelolaan lebih lanjut,” jelas Husni.
“Nilai kami rendah karena open dumping sudah tidak layak dipergunakan lagi. Sistem itu dapat menimbulkan banyak persoalan, mulai dari kotaminasi atau pencemaran air tanah, menimbulkan bau, hingga terjadinya ceceran sampah. Sehingga dapat menjadi tempat berkembang biak organisme penyebar penyakit,” lanjutnya.
Husni menambahkan, pihaknya akan melakukan perubahan pengelolaan TPA. Sistem sanitary landfill secepatnya akan diterapkan. Ke depanpemkot juga akan mengaktifkan kembali TPA Namo Bintang yang memiliki lahan seluas sekitar 16 hektare setelah ditutup 19 Februari 2013 silam.
Pengelolaan kedua TPA itu nantinya berbasis sanitary landfill. Kemudian ditambah lagi dengan penguatan dan penambahan infrastruktur sampah. Sehingga diharapkan persoalan sampah di Medan dapat teratasi dengan baik.
“Jadi hidup ini harus terus belajar menuju perbaikan. Tentunya penilaian rendah yang kami peroleh dari Kementrian LHK RI menjadi pembelajaran untuk terus melakukan perbaikan menjadi lebih baik lagi. Kami juga sangat mengharapkan dukungan penuh dari seluruh warga, tanpa dukungan tentunya kami akan sulit mewujudkannya,” tandasnya.
Pendataan yang telah dilakukan pemkot, setiap warga Medan menghasilkan 0,7 kg sampah per hari. Jika dikalikan dengan jumlah penduduk yang saat ini mencapai sekitar 2,9 juta, maka sampah yang dihasilkan warga setiap harinya mencapai sekitar 2.000 ton.
Pada 2018 lalu, ada 273 moda angkutan yang digunakan untuk memungut sampah. Ditambah 40 unit konvektor, termasuk becak. Jumlah ini pun masih kurang. Pemkot berencana melakukan penambahan armada tahun ini.(mtd/min)
======================