Yang Fana Adalah Waktu, Tjahaja Purnama Yang Abadi

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. (sumber:internet)

Judul diatas merupakan gubahan dari puisi Sapardi Djoko Damono di salah satu serpihan sajak di buku puisinya berjudul; “Hujan Bulan Juni”, merujuk pada segala sesuatu di dunia ini tak ada yang kekal dan abadi.

Semua akan berlalu, bersama waktu. Lahir, anak-anak, remaja, dewasa, tua, bertarung, menang lalu kalah, kalah dan kalah lagi.

Soal bagaimana kita akan menerima kekalahan lalu dikenang, hanya soal daya tahan. Lalu orang-orang akan menghitung-hitung perbuatan masa lalu yang kita, apakah kita lalui dengan keberanian atau kepengecutan.

Soal bagaimana kita merayakan kemenangan, rasanya terlalu mudah dengan membuat pesta, pergi berlibur atau pamer di status ragam media sosial, mulai dari; facebook, twitter, instagram, hingga path.

Namun, segala sesuatu tentu punya batas, dan batas ini pula yang tidak banyak orang mengukurnya. Kita bisa saja terlambat, tapi waktu tidak pernah menunggu. Soal berapa lama umur nafas kita kelak, tak dihitung dari durasi tapi kontribusi.

Hingga suatu hari di tahun 1953 dalam puisinya yang berjudul “Surat Kertas Hijau” penyair Sitor Situmorang bilang;

“Mari, Dik, tak lama hidup ini. Semusim dan semusim lagi.

Burung pun berpulangan”


Untuk Ahok yang berulang tahun ke-51 hari ini, 29 juni 2017…

Ketika Pebulutangkis Alan Budikusuma dan Susi Susanti meraih medali emas pada Olimpiade tahun 1992 di Barcelona, umurku waktu itu masih 3 tahun. Ibuku bilang mereka; Indonesia.

Pun ketika pasangan Tony Gunawan dan Candra Wijaya meraih medali emas di Olimpiade Sydney tahun 2000. Aku sudah menyaksikan sendiri, kami memanggil-memanggil mereka bersorak gembira menyebut; Indonesia.

Begitu juga dengan nama-nama pebulutangkis Eng Hian,  Hendra Setiawan,  atau Ardy Wiranata, kala memenangkan medali penghargaan, kebanggaan untuk negeri ini. Kita-pun selalu memanggil mereka dengan sebutan Indonesia.

Tak ada perdebatan pribumi-nonPribumi, semua bersatu. Tidak seperti hari-hari ini menjadi pergunjingan banyak orang di media sosial. Aku tahu, kaupun mungkin sudah menyadari bangsa ini sudah terlalu naif untuk sekadar ambisi politik.

Mengobral ucapan saya dan anda, kami dan mereka, mengadu domba dan memecah belah hanya sebuah kepentingan politik. Membuat kata kita seolah menjadi barang yang sangat mahal diucapkan.


Bapak Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap berbeda…

Memasuki umurmu yang ke-51 tahun, berjalan menyusuri lorong-lorong kegelapan seorang diri tentu hal yang tak mudah. Merayakan ulang tahun di penjara, di caci-maki, dihina, di demo 7 juta orang lalu dicap sebagai penista agama. Tentu menjadi hari-hari yang sangat sulit.

Aku yakin dipenjara kau tak mudah mendapatkan sesuatu, jauh dari media sosial dan hingar-bingar berita politik. Aku ingin menginformasikan bahwa;

Habib Rizieq orang yang memimpin demonstrasi 7 juta orang itu, saat ini sudah ditetapkan jadi tersangka karena sebuah kasus.

Amien Rais, orang yang juga sangat keras menentangmu pun dan ngotot bilang kau seorang penista agama, dalam fakta persidangan dituding korupsi dana Alat Kesehatan (Alkes) senilai 600 juta.

Terbaru, Ridwan Mukti, Gubernur Bengkulu yang juga peraih “Penghargaan Ahlak Mulia” tahun 2007 beberapa waktu lalu terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK karena diduga menerima suap proyek pembangunan jalan.

Sebagai rakyat, aku semakin bingung, apa indikator sebuah kebaikan. Ahlak mulia diukur dengan apa. Kelak ketika kau bebas, jangan lelah yakinkan kami akan sebuah kebenaran, keberanian dan kejujuran yang anti korupsi…


Bapak Basuki Tjahaja Purnama yang aku yakin masih kuat…

Aku yakin penjara tidak akan pernah membuat pemikiranmu ikut terpenjara. Benazir Bhutto pernah dipenjara, Nelson Mandela pernah dipenjara, Fidel Castro pernah dipenjara, hingga Soekarno pernah juga dipenjara.

Tapi yakinlah, Penjara bukanlah sebuah akhir untuk pejuang revolusioner anti-korupsi sepertimu. Bahkan, seorang Tan Malaka menulis buku 3 jilid sekaligus membuatnya bangga pada sebuah Penjara.

Buku itu diberi judul “Dari Penjara ke Penjara”

Dalam sebuah kutipan, bahkan Tan Malaka mengatakan ; “Barang siapa yang mengkehendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia dan iklas menderita kehilangan kemerdekaannya sendiri”.

Sampai hari ini, aku bahkan sangat yakin, jeruji besi tidak akan pernah memenjarakan gagasan yang kau bangun. Penjara tak akan mampu melumpuhkan semangat yang kau tumbuhkan. Keyakinan itu, aku lihat dari jauh, kala kau tersenyum dan iklas saat-saat dirimu ditetapkan sebagai tersangka dan di vonis 2 tahun penjara.

Sebab, kau yakin gagasan yang kau wariskan akan mendobrak semangat politik orang-orang dinegeri ini untuk jauh dari korupsi dan intoleransi.


Bapak Basuki Tjahaja Purnama yang tegak berdiri dalam kesendirian…

Beberapa minggu yang lalu, kala kau ditahan polisi dan di vonis 2 tahun penjara. Ribuan sampai ratus ribuan orang di seluruh wilayah di Indonesia bersolidaritas menyalakan lilin untukmu. Harapan banyak orang, saat itu, seorang Ahok akan segera dilepaskan dan bebas dari tuntutan penjara. Meski tidak terwujud, kami ingin beritahu arti semua itu.

Lilin-lilin itu bukan sekadar lilin biasa, didalamnya sesirat pula harapan akan menerangi kesendirianmu. Sebab, hari itu, kau sudah cukup lama menjadi lilin bagi kami, yang rela menerangi politik di Indonesia, yang rela memberi cahaya harapan akan Indonesia yang lebih baik dan yang rela menuntun jalannya lorong-lorong kegelapan lepas dari sejarah korupsi yang semakin hari semakin mencekam, membuat kenangan semakin mengancam.

Meski resikonya, seperti lilin, kau harus meghancurkan dirimu sendiri.


Bapak Basuki Tjahaja Purnama yang bernyali…

Aku tidak tahu, dipikiranmu sempat terpikir ini sebuah kekalahan. Tapi yang jelas, bagi kami, sebuah anugerah untuk sebuah daerah di Indonesia, pernah dipimpin oleh orang yang bernyali sepertimu.

Aku tidak bisa bayangkan, kelak aku bisa bertahan atau tidak ketika jutaan orang turun ke jalan datang menolak, menghina dan mengancam membunuhku. Kebesaran hatimu, keteguhanmu dan nyalimu mampu meyakinkan dirimu dan seluruh keluargamu untuk tetap tegak berdiri, meyakinkan mereka tentang sebuah kebenaran.

Mengajarkan kami arti sebuah keberanian.

Meski pada akhirnya, waktu juga yang akan menjelaskan kebenaran itu. Sebab, kepemimpinan itu soal daya tahan. Ada yang melanjutkan konsisten perjuangan, ada pula yang akan binasa perlahan karena godaan jabatan, korupsi dan berbagai kejahatan.

Benar kata Sapardi Djoko Damono, Yang fana adalah waktu. Namun, di hati kami Tjahaja Purnama akan tetap abadi. Selamat ulang tahun, Ahok…..

================

Penulis: Anwar Saragih | Dosen Muda Ilmu Pemerintahan Universitas Darma Agung
.