Ilustrasi banking digital (shutterstock)

medanToday.com, MEDAN – Meningkatnya digitalisasi di banyak sektor telah mendorong kebutuhan transaksi keuangan digital terus membesar. Banyaknya alat pembayaran digital yang mendukung transaksi bisnis di perusahaan mulai level startup hingga decacorn, juga membuat masyarakat makin familiar dengan sistem keuangan digital.

Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Dr. Ardito Bhinadi mengatakan, Indonesia merupakan pasar besar yang sangat potensial bagi pengembangan ekonomi digital, termasuk perbankan digital. Apalagi saat ini hampir semua transaksi keuangan di berbagai kota utama sudah banyak menggunakan platform digital seperti Gopay, Sopheepay, Dana dan juga OVO.

“Pengalaman transaksi secara digital yang telah dirasakan masyarakat membuat layanan keuangan ini makin diminati. Apalagi, transaksi ini jauh lebih efisien dan bisa memenuhi kebutuhan konsumen secara lebih cepat,” jelas Ardito, Minggu (13/12) kemarin.

Menurut Ardito, demografi Indonesia yang semakin banyak penduduk usia milenial merupakan salah satu potensi pasar besar bagi layanan keuangan digital. Oleh karena itu, kehadiran bank digital menjadi sangat strategis bagi penguatan ekonomi Indonesia. Melalui smartphone yang dimiliki, nasabah bank digital memperoleh layanan keuangan digital yang mudah, murah dan cepat.

Ardito mengungkapkan, dengan potensi pasar yang besar, Indonesia seharusnya memiliki banyak bank digital yang kuat mengingat pertumbuhan penduduk terus meningkat. Selain itu, Indonesia juga diproyeksikan sebagai salah satu negeri dengan ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2030.

“Digitalisasi ekonomi adalah kebutuhan mendesak dan ini harus dimanfaatkan oleh industri perbankan. Dengan regulasi yang makin baik oleh OJK, kehadiran bank-bank digital akan semakin melengkapi kekuatan bank-bank konvensional yang sudah ada,” ungkapnya.

Berdasarkan proyeksi Standard Chartered pada 2030, PDB Indonesia diperkirakan mencapai USD 10 triliun. Posisi Indonesia hanya dibawah Tiongkok (USD 64,2 triliun), India (USD 46,3 triliun) dan Amerika Serikat (USD 31 triliun).

Ardito menambahkan, perlu kerja keras serta dukungan lintas kementerian dan lembaga di Indonesia untuk menciptakan bank digital dengan layanan yang kuat, sebab dari sisi teknologi dan infrastruktur perbankan di Indonesia masih tertinggal.

“Layanan perbankan digital membutuhkan tidak hanya pengembangan teknologi digital, namun juga infrastruktur teknologi informasi dan keamanan data pribadi. Infrastruktur teknologi informasi di Indonesia masih belum merata, demikian juga dengan kecepatan akses. Isu keamanan data pribadi juga menjadi isu sensitif,” paparnya.

Menghadapi tren percepatan ekonomi digital saat ini sejumlah bank nasional mulai fokus menjadi bank digital. Bahkan Bank Central Asia (BCA) telah membangun bank digital sendiri yaitu Bank Digital BCA yang dulunya merupakan Bank Royal. Sementara Bank Neo Commerce, Bank Agro, Bank Nobu serta Bank Jago juga telah memperkuat pondasinya bisnisnya untuk terjun ke perbankan digital. (mtd/min)