Sampai juga kau dipelukan Eddy Rahmayadi, pak Tengku Erry. Meski tak pernah yakin untuk apa semua pelukan penuh kekecewaan yang kau alami. Jika kau memilih berhenti, istirahatlah. Melipir sejenak sebelum memikirkan strategi kembali.

Sebab, politik telah membuatmu memahami pada akhirnya tidak selalu bercerita soal kekalahan atau kemenangan di bilik suara.

Ada satu masa kita harus berhenti atau diberhentikan karena pelbagai alasan yang tidak pasti. Diberi harapan yang seolah pasti, lalu dikhianati. Dijunjung tinggi-tinggi, lalu dicueki.

Tapi, yang pasti bapak pahami adalah para petarung politik bukan hanya untuk para politisi yang bernyali, tapi juga untuk politisi yang siap kecewa dan pata hati bahkan dikhianati. Ini hanya soal daya tahan pak. Ujian terhadap diri sendiri.

5 Januari 2018, mungkin akan bapak ingat sebagai salah satu peristiwa politik yang pernah bapak alami. Mungkin setara dengan kemenangan bapak Tengku Erry alami kala memenangkan Pilkada Serdang Bedagai lalu menjadi Bupati tahun 2010 atau memenangkan Pilgub Sumut tahun 2013 bersama Gatot Pujo Nugroho.

Hari itu, saat sore menjelang. Kala Partai Golkar mengumumkan calon Gubernur dan wakil Gubernur yang akan mereka usung adalah Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah ( Eddy-ijeck). Perasaan bapak pasti sangat tak karuan. Galau dan emosi jadi satu diimajinasi.

Sebab, sungguh tak mudah bagi bapak menerima keputusan DPP Partai Golkar, partai yang pernah anda tinggalkan untuk maju di Pilgubsu 2013 lalu membalas meninggalkan bapak jelang detik-detik akhir pencalonan Pilgubsu 2018.

Saya tahu, bapak pun pasti memahami sebagai orang yang pernah menjadi bagian dari Partai Golkar. Bapak sulit menerima kenyatan politik seperti ini. Setelah sebelumnya, Golkar giat bersemangat mendenung-dengungkan cerita berjanji dengan akad surat dukungan akan mendukung anda di kontestasi Pilgubsu. Harus meninggalkan anda sendiri, tanpa jejak dan secercah harapan-pun.

Tak lama setelahnya, saat senja datang, menjelang malam. DPP Partai Nasdem, partai politik yang menjadi tempat bapak bernaung saat ini pasca meningalkan Golkar pun ikut mengumumkan pasangan Eddy-ijeck sebagai calon yang akan mereka usung di Pilgubsu.

Sebagai kader Nasdem, anda dipaksa legowo menerima situasi ini. Raut wajah yang biasanya penuh senyum, kumis lebat gagah yang membuat anda lebih berwibawa tiba-tiba berubah menjadi rengut wajah yang lesu. Air mata kekecewaan seperti berselinap diantara kumis lebat bapak. Terlihat pasrah, penuh kekecewaan. Kuharap bapak tegar.

Apalagi setelahnya, bapak dalam kapasitas Ketua DPW Partai Nasdem Sumatera Utara harus memimpin rapat untuk mengumumkan pasangan Eddy-ijeck di Pilgubsu. Membuat saya tidak mampu mendeskripsikannya.

BACA: Batal Dicalonkan, ERRY NURADI : Selamat Kepada Kakak Edy

Pun tak lama sesudahnya, beredar foto-foto bapak berpelukan dengan Eddy Rahmayadi. Disaksikan banyak orang penuh senyum-senyum sumringah, pun disaksikan ijeck. Membuat saya menjadi sedikit galau. Perih. Pahit mirip kopi Robusta yang diseduh dengan penyeduhan espresso.

Selanjutnya, situasi ini membuat saya seperti merasakan Tim Sepak Bola Favorit saya Real Madrid, Kalah 5-0 di kandang sendiri melawan Barcelona di ajang El Clasico.

Layaknya kegalauan banyak laki-laki di Indonesia saat Raisa memutuskan akan menikah dengan Hamish.

Mirip pula dengan kepedihan Cinta yang kehilangan Rangga selama ribuan purnama, 14 tahun lamanya meski akhirnya bertemu kembali. Menyedihkan sekaligus mengharukan seperti kisah Romeo dan Juliet yang sangat kubenci, saling mencintai namun akhirnya memilih mati bersama-sama.

“Sungguh, apa yang mereka lakukan itu. Jahat !!! Pak Erry.”

BACA JUGA:

Pak TENGKU ERRY, Kini Langit Semakin Mendung…

Setelah ribuan bahkan ratusan ribu pelukan yang bapak terima selama ini, jutaan harapan yang diobral murah. Ini sungguh menyakitkan.

Tapi, tentu bapak sangat menyadari. Ini politik, sebuah dunia yang tidak mungkin bapak anggap jahat pun bapak benci. Setelah ketenaran dan kekuasaan yang anda nikmati selama ini. Bapak hanya diminta untuk dipahami oleh politik itu sendiri.

Bapak pun sangat paham. Pencalonan calon di ajang Pilkada hanyalah soal konsistensi ucapan, keteguhan jabat tangan dan perpindahan dari satu pelukan ke pelukan lainnya.

Baik teman, maupun lawan yang sifatnya sementara. Waktu belum berakhir, masih ada 4 hari dari sekarang pak. Bilamana bapak masih punya kekuatan untuk bangkitlah melawan situasi ini.

Meski banyak orang-orang berkilah, teman separtai bapak. Pendukung bapak pun orang-orang yang tiba-tiba menjadi pengamat politik berkilah dengan ragam alasan.

Kata Mereka “Nasdem dan Golkar bergabung dengan koalisi Eddy-ijeck tujuannya untuk mengamankan posisi Jokowi di 2019”

Pertanyaannya. Apa bapak Tengku Erry Percaya ? Kemudian apa urusan pemenangan Jokowi dengan pribadi bapak. Bukankah bapak, di Pemilu 2014 yang lalu masih Kader Golkar yang mendukung Prabowo-Hatta. Lawan Jokowi pula.

Bukankah bapak juga pendukung agar Ahok yang katanya sahabat Jokowi itu, agar segera ditangkap di demo 212 karena menistakan agama pak ?

“Apa bapak mau menjadi lilin yang rela menerangi orang lain tapi menghancurkan diri sendiri pak ?” Rasanya tidak pak…

Kembali saya ingatkan pak, bangkitlah. Bejalanlah ke pelukan-pelukan politik yang lain. Berseliweran memeluk ketua umum Hanura, ketua Umum PKPI, ketua umum PPP, ketua umum PKB, ketua umum Partai Demokrat. Atau memeluk JR Saragih, calon kontestan yang paling sepi pemberitaannya setelah Eddy Rahmayadi dan Djatot Saiful Hidayat. Demi Pilkada Sumatera Utara, pak.

Seperti Pilkada, Tak Ada Pelukan Yang Abadi Pak Erry…

==============