Dikala Perempuan Pesisir Perkotaan Rentan Terdampak Perubahan Iklim

0
222
Perempuan pesisir mencari tiram dan ikan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Lambada Lhok, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Sabtu (25/7). MTD/Antara

medanToday.com – Masyarakat pesisir perkotaan, khususnya perempuan pesisir, merupakan kelompok yang rentan terhadap perubahan iklim. Cuaca ekstrim, banjir, dan rob menjadi tantangan yang dihadapi oleh perempuan nelayan dan keluarganya.

Dalam menghadapi perubahan iklim, perempuan memiliki situasi, permasalahan dan inisiatif yang berbeda, yang sangat dipengaruhi oleh kedekatan perempuan dengan alam.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar di pesisir Makassar, Sulawesi Selatan, menunjukkan banyaknya faktor-faktor penyebab kerentanan tersebut dan bagaimama kebijakan pemerintah kemudian justru memperparah kondisi yang ada.

“Kami dari SP Anging Mammiri sejak tahun 2016 mulai melakukan assesment terhadap kebijakan perubahan iklim di Kota Makassar. Kenapa kita melihat itu, karena wilayah perkotaan, khususnya pesisir menjadi wilayah yang sangat rentan mengalami dampak perubahan iklim,” ungkap Nur Asiah, Ketua SP Anging Mammiri Makassar dalam Dialog Publik Perempuan dan Perubahan Iklim, yang diselenggarakan di Hotel Grand Imawan, Makassar, Kamis (14/12/2017).

Menurut Nur Asiah, faktor-faktor penyebab kerentanan tersebut antara lain pembangunan yang tidak ramah dan tidak partisipatif serta tidak memperhatikan situasi dan kondisi bentang alam Kota Makassar. Pembangunan infrastruktur terutama di kawasan pesisir pantai kota Makassar dinilainya akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, khususnya perempuan nelayan dan pesisir kota Makassar.

“Ini akan semakin memperburuk ketika perubahan iklim terjadi, dampaknya akan sangat berlapis dihadapi perempuan. Perempuan nelayan harus berpikir dan bekerja lebih berat untuk memastikan keberlanjutan pangan dan kehidupan keluarganya. Hal ini tidak terlepas dengan peran gender yang masih dilekatkan sosial terhadap perempuan,” katanya.

Menurut Nur Asiah, wilayah pesisir merupakan wilayah kelola perempuan nelayan dalam memperoleh sumber pangan bagi masyarakat kota Makassar dan keluarganya. Hilangnya ruang kelola perempuan, menjadikan perempuan nelayan sebagian terpaksa berhenti melaut. Sementara sebagian yang tetap memilih melaut, memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi akibat cuaca yang ekstrim dan minimnya fasilitas yang dimiliki oleh perempuan.

“Kondisi ini juga sangat mempengaruhi terhadap kehidupan perempuan, khususnya perempuan nelayan, dimana cuaca ekstrim juga menghambat perempuan nelayan dalam mendapatkan sumber mata pencahariannya yang sangat tergantung pada sumber daya laut,” tambahnya.

 

SP Anging Mammiri juga menemukan beberapa kesenjangan dalam kebijakan terkait perempuan dalam kaitannya dengan perubahan iklim ini di Kota Makassar. Misalnya, meski telah ada Peraturan Walikota terkait pengarusutamaan gender yang dintegrasikan dalam pembangunan kota, tetapi pada kenyataannya dalam Kelompok Kerja Perubahan Iklim yang dibentuk Pemkot tidak memasukkan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak secara kelembagaan.

Perempuan dalam hal ini, tambahnya, belum dilihat sebagai pemangku kepentingan dalam perumusan, pelaksanaan, monitoring maupun evaluasi kebijakan maupun aksi-aksi perubahan iklim. Padahal, dalam mendorong kebijakan iklim perkotaan yang berkeadilan gender, penting bagi publik untuk mengetahui rencana dan strategi pemerintah kota Makassar dalam merespon persoalan perubahan iklim.

Selain itu, perlu ketegasan dan komitmen pemerintah dalam memastikan pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan melalui kebijakan iklim perkotaan yang berkeadilan gender.

Menurut Puspa Dewi, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, kalau bicara tentang perubahan iklim maka hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari pembangunan baik fisik dan kapasitas manusianya.

“Persoalannya hari ini banyak kebijakan yang tumpang tindih, ataupun tidak sejalan. Kebijakan-kebijakan itu jarang diketahui dan disosialisasikan ke masyarakat. Contoh ibu-ibu pernah dengar RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tidak? Atau RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil)? RZWP3K adalah satu kebijakan yang dibangun merencanakan zonasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di situ bisa dilihat Tallo itu nanti akan dijadikan apa? Cambayya akan dijadikan apa? Pertanyannnya apakah kita pernah dilibatkan dan diminta tanggapannya?”

Puspa menyarankan kepada perempuan untuk secara aktif terlibat dalam setiap proses pembangunan seperti Musrenbang (musyawarah rencana pembangunan).

“Perempuan harus terlibat diundang atau tidak, karena implikasi dari pembangunan itu kita juga yang akan merasakan dampaknya. Kalau ada proyek pembangunan harus cari tahu, karena dampaknya akan kita yang rasakan sendiri. Perempuan harus ditempatkan dalam berbagai perencanaan yang ada.”

Puspa menambahkan bahwa saat ini pemerintah masih terus bicara tentang mencegah dampak perubahan iklim padahal dalam faktanya masyarakat sudah diperhadapkan pada dampak tersebut.

“Seharusnya agenda-agenda yang diutamakan adalah agenda adaptasi. Kita memang sudah beradaptasi meski harus dibedakan antara adaptasi dengan daya tahan. Katanya sudah dikasih pelatihan ini itu dikatakan sudah adaptasi. Itu bukan adaptasi tapi bertahan hidup.”

Puspa juga menyoroti berbagai kebijakan dan program pemerintah ke masyarakat pesisir yang tidak tepat dan justru menghilangkan kapasitas masyarakat.

“Ada kapasitas yang hilang. Dulu mereka nelayan dengan kearifannya mampu menangkap ikan dan lainnya, tapi itu sudah tidak ada lagi, karena mereka justru dialihkan untuk menekuni pekerjaan lain. Jadi ketika memberikan program maka pemerintah seharusnya lihat dulu apa potensi lokal yang ada, apa inisiatif yang bisa dikembangkan, apa kebutuhan dan situasi yang ada di sana. Bukan malah sesuatu dari luar yang dipaksakan masuk dan malah tidak memberi banyak kepada mereka.” (mtd/min)

===============