Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara, Muhammad Amin Multazam Lubis. (Ist)

medanToday.com, MEDAN – Komisi untuk orang hilang dan tindak kekerasan (KontraS) Sumut menilai persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) di provinsi tersebut tidak menjadi prioritas dan cenderung terabaikan. Buktinya, kasus pelanggaran HAM sepanjang 2020 semakin meningkat.

Koordinator KontraS Sumut, Amin Multazam Lubis menyebutkan, terabainya persoalan HAM akan membuat pemenuhan, perlindungan dan penghormatan HAM semakin jauh dari harapan. Kondisi yang bisa menggambarkan kelamnya penegakan HAM di Sumut dapat dilihat dari beberapa aspek yang diantaranya, tingginya angka kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan negara, khususnya kepolisian.

Berikutnya, belum adanya metode efektif dalam menyelesaikan konflik agraria. Adanya upaya pembungkaman masyarakat sipil di tengah munculnya undang-undang kontroversial hingga pandemi Covid-19. Dan terakhir sulitnya pemenuhan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM itu sendiri.

Menurut Amin, untuk kasus dugaan kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat terjadi peningkatan signifikan. Jika tahun sebelumnya ada 103 kasus. Namun, pada tahun ini KontraS mencatat ada peningkatan mencapai 192 kasus. Dari kasus tersebut mengakibatkan 226 orang terluka dan 56 meninggal dunia. Sebagian besar dilakukan oleh kepolisian dalam konteks upaya penegakan hukum. Sejumlah 44 kasus merupakan praktek tembak mati dengan dalih tindakan tegas dan terukur.

“Tafsir tindakan tegas dan terukur masih rancu. Di banyak kasus justru mengarah pada penggunaan kekuatan yang dilakukan secara berlebihan. Ini jauh dari prinsip proporsionalitas sebagaimana dimandatkan dalam PERKAP Nomor 8 Tahun 2009,” kata Amin melalui keterangan tertulis yang diterima medanToday.com dalam rangka memperingati hari HAM, Kamis (10/12).

Praktek itu, lanjut Amin, terjadi pada kasus-kasus pidana yang menjadi musuh publik seperti narkoba, pelaku kejahatan jalanan seperti begal dan Curas. Menariknya, tindakan demikian kerap dianggap prestasi dan mendapat dukungan publik. Padahal jika melihat fakta di lapangan, angka tindak pidana tersebut sama sekali tidak mengalami penurunan yang signifikan.

Pada prinsipnya, Kontras sangat mendukung penegakan hukum yang dilakukan kepolisian. Akan tetapi, penegakan hukum tidaklah boleh dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum. Ada prosedur dan aturan yang sudah disepakati bersama sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan HAM.

“Toh terbukti, pengunaan kekerasan bukan solusi penegakan hukum. Bahkan, sekedar mengurangi tindak pidana pun gagal,” jelasnya.

Amin menambahkan, KontraS memberikan sorotan khusus pada dugaan kasus penyiksaan. Sepanjang 2020, pihaknya mencatat ada 13 pengaduan kasus penyiksaan yang terjadi di Sumut. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya ada lima kasus.

“Secara sederhana sesuatu dikategorikan penyiksaan ketika memenuhi unsur-unsur seperti menimbulkan rasa sakit atau penderitaan mental serta fisik yang luar biasa, oleh atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat negara yang berwenang, untuk suatu tujuan tertentu seperti mendapatkan informasi penghukuman atau intimidasi,” ungkapnya.

Dari sisi motif, sambungnya, penyiksaan sebagian besar dimaksudkan untuk mengejar pengakuan. Motif lain yakni sebagai bentuk penghukuman dan bentuk arogansi aparat terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini tentu bertentangan dengan Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Bahkan, dalam beberapa kasus negara tidak segan mempertontonkan praktek kekerasan dan penyiksaan.

“Sebagai contoh seperti apa yang dialami oleh Kamiso pada Oktober lalu. Kakinya ditembak dengan posisi mata tertutup dan tangan terborgol. Jelas ini melanggar prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekuatan,” katanya.

Oleh sebab itu, KontraS mendesak pimpinan Polri agar berani secara tegas mendorong proses hukum bagi personel yang melakukan pelanggaran. Ketegasan justru baik untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

Masih dikatakan Amin, dari sektor agraria, meski berada situasi pandemi tapi angka konflik agraria di Sumut tetap tinggi. Hasil pemantauan, KontraS mencatat sepanjang 2020 terdapat 31 titik konflik agraria yang terjadi. Angka ini juga meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya ada 23 titik.

KontraS mengkategorikan secara garis besar akar persoalan konflik agraria menjadi lima jenis. Pertama, akibat tumpang tindihnya HGU. Kedua, Konflik di atas tanah eks HGU, Ketiga, konflik akibat masuknya pembangunan atau industri skala besar. Keempat, konflik imbas belum direalisasinya kebun plasma dan terakhir konflik di kawasan hutan.

“Belum ada pola penyelesaian yang efektif. Apalagi masing-masing kategori itu punya pendekatan dan cara penyelesaian yang berbeda. Hal itu yang sampai sekarang belum terlihat dilakukan oleh Pemerintah Sumut,” katanya.

Titik konflik yang mendapat sorotan KontraS diantaranya terkait polemik di atas lahan PTPN II. Proses okupasi maupun replanting lahan oleh PTPN II dalam satu tahun belakangan kerap menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Dengan dalil mengamankan asset, mereka gencar mengambil alih lahan-lahan yang selama bertahun-tahun dikelola masyarakat.

Beberapa HGU PTPN II yang dalam setahun belakangan menimbulkan polemik misalnya HGU No 171 di Pancur Batu (kwala Bekala), HGU No 54,55 di Binjai Timur (Tunggurono), HGU No 90,92 di Sei Mencirim, HGU No 91 di Kutalimbaru (Sei Glugur), HGU No 94 di STM Hilir (Limau Mungkur), HGU No 113 di Kecamatan Batang Kuis (Bandar Klipa), HGU No 152 di Percut Sei Tuan (Sampali), HGU No 111 di Labuhan Deli (Helvetia) hingga HGU No 5 di Stabat (Kwala Bingei).

“Sekalipun situasi pandemi, proses okupasi di lapangan malah terus dilakukan. Rakyat sudah menderita secara ekonomi akibat pandemi, malah harus kehilangan rumah dan tanahnya,” kata Amin.

Hal ini menegaskan bahwa ruang sipil dan demokrasi semakin buruk. Apalagi lahir berbagai undang-undang kontroversial dan ancaman pandemi Covid-19. Saat pembatasan terhadap masyarakat sipil dilakukan dengan berbagai dalil, negara justru mempertontonkan praktek kesewenang-wenangan dengan melahirkan kebijakan yang kontra produktif.

“Berbagai protes di respon dengan cara represif. Dengan alasan darurat kesehatan, negara berulang kali mengabaikan pemenuhan hak sipil serta ketentuan-ketentuan pengurangan hak yang berlaku,” ujarnya.

Contohnya bisa dilihat dari upaya mengamankan berbagai aksi protes Undang-Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kepolisian dinilai tidak mengindahkan Perkap 7 Tahun 2012 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat dimuka umum. Banyak massa aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang. Bahkan ditangkap sebelum berunjuk rasa.

Penangkapan model demikian dilakukan dengan dalih mengamankan. Ke depannya pola tersebut bisa jadi pembenaran untuk membatasi orang-orang yang hendak bersuara dan menyampaikan pendapat. Dengan kata lain sama saja membunuh demokrasi.

“Seabrek persoalan dalam catatan HAM ini merupakan masalah serius yang harus segera dicarikan solusinya. Tentu saja oleh Negara, melalui pemerintah Sumut yang dimandatkan untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi HAM bagi setiap orang, tanpa terkecuali,” tegasnya. (mtd/min)