medanToday.com – Apakah uang mendatangkan kebahagiaan? Pertanyaan klasik tentu. Ditanya dan dijawab sejak berabad-abad hingga kini.

Jawaban umum, uang tidak selalu mendatangkan kebahagiaan. Para bijak pandai bahkan para nabi selalu mengingatkan bahaya uang bagi diri dan orang-orang disekitar.

Pesan-pesan tersebut pada satu sisi adalah upaya preventif agar manusia tidak mengejar kesia-siaan. Di sisi lain didasari pada pemahaman bahwa manusia umumnya ringkih saat berhadapan dengan uang.

Mereka mudah tergoda, mudah memuja uang, dalam beragam bentuknya,secara langsung maupun tidak langsung, hingga terlupa sarana bukanlah tujuan.

Tentang uang dan kebahagiaan, beberapa peneliti psikologi uang juga menyuarakan hal yang kurang lebih sama.

Beberapa riset menyimpulkan memang ada hubungan antara tingkat pendapatan dan kepuasan hidup, namun hubungan tersebut dapat dikategorikan rendah (Diener & Biswas-Diener, 2002).

Penelitian lain menunjukkan mereka yang berpendapatan diatas rata-rata relatif puas dengan hidupnya. Namun, “Kepercayaan umum bahwa pendapatan tinggi berhubungan dengan suasana hati yang baik, sebagian besar adalah ilusi”, demikian laporan riset Kahneman (2006).

Temuan-temuan ini menunjukkan kebahagiaan tidak selalu terkait dengan jumlah uang yang dimiliki. Lalu bagaimana uang dapat mendatangkan kebahagiaan? Tergantung cara menggunakannya.

Dunn, dkk (2014) seorang peneliti psikologi uang menyebutkan terdapat beragam cara agar uang mendatangkan kebahagiaan. Salah satunya adalah menggunakan uang untuk kepentingan atau kesejahteraan orang lain, bukan untuk diri sendiri.

Ia mengistilahkan hal tersebut sebagai pengeluaran prososial (prosocial spending).

Bentuknya beragam, misalnya memberikan uang pada acara keagamaan, membayari teman makan siang, memberikan uang pada peminta-minta, termasuk memberikan uang lewat lembaga-lembaga sosial yang spanduk atau posternya banyak terpampang di jalan-jalan belakangan ini. Penelitiandi 136 negaratermasuk Indonesia, menunjukkan pengeluaran prososial berhubungan erat dengan kebahagiaan, terlepas dari tingkat pendapatan, dukungan sosial, persepsi kebebasan maupun persepsi tentang korupsi (Akin, dkk., 2013).

Menurut Dunn, dkk (2014) hal ini berhubungan dengan terpenuhinya tiga kebutuhan dasar manusia, yaitu: keterhubungan dengan orang lain (relatedness), kompetensi diri (competence) dan kebebasan menentukan pilihan (autonomy).

Dengan kata lain, memberi mendatangkan kebahagiaan karena justru dengan memberi kebutuhan kita terpenuhi.

Juara

Laporan survey World Happiness Report 2017 yang dilakukan di 155 negara menunjukkan tingkat kebahagiaan Indonesia selama tahun 2014-2016 berada para peringkat 81, sementara peringkat pertama adalah Norwegia.

Survey tersebut menempatkan derma uang (pada survey disebut generosity) sebagai salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kebahagiaan.

Lima faktor lainnya yaituGDP per kapita, dukungan sosial, harapan hidup, kebebasan menentukan pilihan dan persepsi korupsi. Pada konteks Indonesia, derma uang –bersama GDP per kapita dan dukungan sosial–berkontribusi cukup besar terhadap kebahagiaan.

Tentang perilaku memberi (giving), surveyWord Giving Index 2017 menunjukkan Indonesia menempati peringkat berkategoritinggi dibandingkan negara-negara lain.

Survey mengungkap tiga faktor perilaku memberi: menolong orang asing, dermauang dan menggunakan waktu sebagai sukarelawan. Secara total, merujuk ketiga aspek tersebut, Indonesia menempati peringkat kedua (60%) setelah Myanmar (65%).

Posisi ini menggeser posisi Amerika Serikat menjadi posisi 5 dan sekaligus lompatan karenatahun sebelumnya Indonesia berada pada peringkat 7.

Khususnya pada aspekderma uang, Data 2017 menunjukkan 5 besar negara yang memiliki tingkat derma uang tinggi bukanlah negara-negara kaya.

Setelah Myanmar dan Indonesia, negara lainnya adalah Malta, Islandia dan Thailand. Selama 5 tahun Indonesia selalu berada dalam peringkat 10 besar. Bahkan terjadi lonjakan perilaku mendermakan uang karena selama dua tahun belakangan ini Indonesia berada pada peringkat 2, setelah sebelumnya tahun 2015 berada para peringkat 9.

Tingginya peringkat Indonesia dan lompatan yang terjadi dapat diduga merupakan“DNA” budaya masyarakat kita,disamping faktor individual. Terpenuhinya tiga kebutuhanpsikologis dasar melalui tindakan pengeluaran prososialseperti disampaikan Dunn adalah penjelasan psikologis yang dibingkai oleh budaya masyarakat tempat ia berada.

Baginya, tindakan tersebut adalah spending untuk buying happiness dan lebih merupakan persoalan faktor individual. Bisa jadi masyarakat Indonesia memiliki penjelasan berbeda dari yang disampaikan oleh Dunn.

Sejarah budaya dan pengalaman panjang masyarakat kita membentuk cara hidup dan cara pandang khas mengapa tindakan mendermakan uang merupakan hal “biasa”.

Dengan kata lain, bila derma adalah cara berbahagia dengan uang dan ingin tahu bagaimana perilaku tersebut dapat muncul serta hidup, Indonesia dapat menjadi tempat belajar. Demikian pula bila di suatu masa orang dari negara lain datang ke Indonesia membawakan seminar bagaimana uang mendatangkan kebahagiaan melalui tindakan derma.

Lalu kitapun berbondong-bondong menghadiri seminarnyayang notebene belum tentu murah. Adalah baik untuk dipikirkan lagi. Sebagai tindakan belajar pada orang lain, tidak ada salahnya.

Namun dapat ditanyakan pada diri: apakah mungkin saat itu kita sedang lupa akar budaya kita atau tidakkah pembicara tersebut tahu bahwa dirinya sedang menggarami lautan?

(mtd/min)