Dedi Sinuhaji, Pewarta Foto kantor berita Eropa, European Pressphoto Agency (EPA) saat berbagi cerita dibalik foto demo ricuh penolakan UU Cipta Kerja di Medan pada kegiatan pameran foto Omnibus Law in My Eyes di literacy Coffee,Medan. Pameran Fotojurnalistik karya Dedi Sinuhaji yang merupakan rekaman lensa demo ricuh di Medan 8 Oktober tersebut berlangsung selama sepekan, dari 18 oktober sampai 24 Oktober. MTD/Kartik Bima

medanToday.com, MEDAN – Karya seorang fotografer memang bisa menimbulkan banyak makna dan sudut pandang, bahkan tidak jarang menuai pro dan kontra. Salah satu contohnya jepretan Dedi Sinuhaji saat meliput unjuk rasa penolakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja di Medan pada Kamis (8/10) lalu.

Foto kerusuhan antara demonstran dengan polisi di Kantor DPRD Sumut, yang diunggah di akun facebook pribadinya menuai komentar tidak sedap dari akun milik Ambarita. Dedi dituding sengaja mengabadikan momen kericuhan yang hanya menitik beratkan kepada salah satu pihak. Komentar tersebut dengan cepat mendapat respon dari akun lainnya. Dikarenakan media sosial tidak efektif membahas visual jurnalitik, Dedi menyarankan agar pembahasan dibuat dalam bentuk diskusi sekaligus pameran foto.

“Dalam komentarnya, Ambarita menyebutkan visual yang saya buat framingnya berat sebelah, dan ada cerita apa dibalik foto itu,” kata Dedi membuka diskusi bertema Omnibus Law in my eyes yang menghadirkan dua narasumber yaki Darma Lubis dan Ambarita di Literacy Coffee, Jalan Jati II Medan, Minggu (18/10) malam.

“Karena persoalan inilah kita berkumpul di diskusi dan pameran foto ini. Semoga dapat mencerahkan kita semua bagaimana melihat visual dari sudut pandang jurnalistik,” tambah Dedi.

Pengunjung saat mengamati foto karya pewarta foto, Dedi Sinuhaji pada pameran Omnibus Law in my eyes di Literacy Coffee,Medan. MTD/Andri Ginting

Menanggapi komentar Ambarita, Dedi menceritakan, waktu unjuk rasa 8 Oktober pecah, dia berada tepat di barisan polisi. Sehingga dia hanya bisa mengambil gambar pada posisi tersebut. Menurutnya, memilih bertahan di situ adalah salah satu strategi paling aman untuk menyelamatkan diri.

Usai meliput, hasil jepretan kerusuhan itu dikirim ke kantor medianya. Setelah dipublis, kemudian dia memposting di akun medsos pribadi. Tak lama Ambarita memberi komentar terkait hasil jepretannya.

“Karena sebagai pewarta foto, aku menjawab komentar Ambarita dari sudut pandang framing visual, dan aku tegaskan foto itu sudah berimbang. Alasannya, pada visual itu aku sudah memberikan frame yang seimbang. Antara demonstran sedang melakukan pelemparan batu dan setengahnya lagi polisi yang sedang bertahan. Secara visual foto ini sudah berimbang,” tegas pewarta foto yang bekerja di European Pressphoto Agency (EPA) itu.

Dedi juga menjelaskan, dalam situasi kerusuhan unjuk rasa, jurnalis tulis maupun foto berada pada posisi dilema. Dilematisnya seperti apa? jika diibaratkan seperti telenan dan pisau. Andaikata polisi sebagai telenan dan demonstran adalah pisaunya, maka jurnalis berada di tengah yang akan dipotong, begitu juga sebaliknya.

“Kenapa saya bilang seperti itu, karena keberadaan kami (jurnalis) selalu dianggap salah. Berada di pihak demonstran dianggap bagian dari pemerintah, di pihak polisi dianggap mata-mata demonstran. Berada diantara dua kubu ini jurnalis berpotensi kena imbasnya, kena gas air mata dan lemparan batu,” ucapnya.

Nah, lanjut Dedi, berdasarkan pengalaman itulah dia lebih cendrung mengambil posisi di balik polisi meskipun di situ rentan juga terkena tindak kekerasan. Alasannya, jika terjadi kekerasan atau intimidasi yang dilakukan oleh polisi, maka dia tahu ke mana akan menuntutnya.

“Tapi, kalau di dekat massa aksi dan mendapat tindakan kekerasan, kami tidak tau menuntutnya ke pada siapa. Bisa dipastikan semua ketua kelompok massa akan buang badan,” jelas pria yang bergabung jadi Staff di EPA sejak 2016 silam ini.

Pada kesempatannya, Ambarita menyebutkan bahwa dia memang melihat karya Dedi tidak dari sudut estetik, karena menurutnya estetik itu lebih subjektif.

“Bagiku tidak terwakilkan moral publiknya ketika melihat foto itu. Jadi tujuan teman-teman jurnalis ini memang mengambil spot untuk keosnya saja. Sementara, kita harapkan jangan ada yang keos,” ucapnya sembari mengatakan di situlah mungkin peran kawan-kawan terlepas pandangan politik dan lainnya bahwa segala sesuatu bisa dihindari.

“Mohon maaf, aku cuma melihat dari dua sudut pandangan itu. Tapi, framingnya tetap kekerasan sehingga melupakan hal subtansi yaitu Omnibus Law, dan ini tidak dimunculkan. Maksudku, keberimbangan itu bukan dari sudut estetik atau etika saja. Tapi moral publiknya, ayo loh, diceritakan juga,” sambung pria yang mengaku sebagai alumni LBH Medan itu.

Sementara nara sumber lain, Darma Lubis mengatakan tidak bisa berkomentar banyak tentang Omnibus Law, karena dia mengaku belum membaca bahkan melihat drafnya. Tapi, kalau melihat beberapa hasil jepretan Dedi dalam pameran, dia menangkap adanya kemarahan-kemarahan rakyat Indonesia.

“Yang aku mau bilang, demonstrasi kali ini seperti tidak ada koordinasi antara kelompok-kelompok, baik itu buruh, mahasiswa, pelajar ataupun lainnya. Sehingga, kalau dikatakan aksi tersebut mudah dipecah, mudah diprovokasi, mudah terjadi ceos, jawabannya iya,” ujar mantan wartawan senior tersebut.

Dedi melanjutkan, di satu sisi dirinya sepakat dengan apa yang dikatakan Ambarita terkait framing. Karena menurutnya kerja-kerja pewarta foto itu memang membuat framing yang kemudian disajikan dalam bentuk visual.

“Tapi yang diframing adalah apa yang dia (pewarta foto) lihat. Jika yang terjadi di depan mata kerusahan, ya itulah yang diframingnya. Dan watawan atau pewarta foto itu sebenarnya hanya penyambung lidah saja. Dia menjembatani komunikasi antara masyarakat dengan target yang mau disasar, misal dalam hal ini pemerintah,” tegas pria yang sampai sekarang masih aktif di organisasi wartawan Aji. (mtd/min)

================