Petugas Kesehatan saat bertugas dalam pelaksanaan Swab Test di Pendopo USU, Medan,Selasa (18/8). Foto: Dedi Sinuhaji for medanToday.com

medanToday.com, JAKARTA – Penerapan praktik 3T (Tracing, Testing, Treatment) sama pentingnya dengan perilaku 3M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak). Kedua praktik itu berfungsi dalam upaya memutus mata rantai penularan Covid-19.

Hanya saja, pemahaman dan penerapan praktik 3T masih perlu ditingkatkan mengingat masyarakat lebih mengenal 3M yang kampanyenya dilakukan terlebih dahulu.

Penasihat Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menkomarinvest), Monica Nirmala mengatakan, praktik 3M banyak membicarakan tentang peran individu. Sementara 3T berbicara tentang bagaimana memberikan notifikasi atau pemberitahuan pada orang di sekitar untuk waspada.

“Jadi memang ada satu proses yang tidak hanya melibatkan individu, tapi juga orang yang lebih banyak,” katanya dalam dialog produktif bertema optimisme masyarakat terhadap 3T (Tracing, Testing, Treatment) yang diselenggarakan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Kamis (12/11).

3T yakni pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing) dan perawatan (treatment). Menurutnya, pemeriksaan dini menjadi penting agar bisa mendapatkan perawatan dengan cepat. Tak hanya itu, dengan mengetahui lebih cepat, maka bisa menghindari potensi penularan ke orang lain.

Kemudian, pelacakan dilakukan pada kontak-kontak terdekat pasien positif Covid-19. Setelah diidentifikasi petugas kesehatan, kontak erat pasien harus melakukan isolasi atau mendapatkan perawatan lebih lanjut.

“Seandainya ketika dilacak si kontak erat menunjukkan gejala, maka perlu dilakukan tes, kembali ke praktik pertama (testing),” ujarnya.

Kemudian, perawatan akan dilakukan apabila seseorang positif Covid-19. Jika ditemukan tidak ada gejala, maka orang tersebut harus melakukan isolasi mandiri di fasilitas yang sudah ditunjuk pemerintah. Sebaliknya, jika orang tersebut menunjukkan gejala, maka para petugas kesehatan akan memberikan perawatan di rumah sakit yang sudah ditunjuk pemerintah.

Hingga saat ini, Monica mencatat ada tiga indikator yang menjadi standarisasi pemeriksaan Covid-19 yakni, jumlah spesimen, kecepatan hasil pemeriksaan dan rasio positif. “Di Indonesia angka testing rata-rata mencapai 24 ribu sampai 34 ribu orang per hari,” jelas Monica.

Dari segi kapasitas laboratorium, lanjut Monica, Indonesia sangat memadai untuk melakukan pemeriksaan sesuai standar WHO. Kapasitas tes di laboratorium hampir 80 ribu. Kendalanya malah pada individunya, ketika seseorang menunjukkan gejala Covid, kontak eratnya takut untuk memeriksakan diri (testing).

“Setiap orang harus mengambil peranan memutus rantai Covid-19 dengan berpartisipasi dan kooperatif menerapkan 3M dan 3T,” ungkapnya.

Sementara itu, Managing Director IPSOS Indonesia, Soeprapto Tan mengemukakan masih ada 29 persen masyarakat yang tidak paham mengenai 3T. Sebaliknya, 99 persen masyarakat mengaku paham terhadap 3M. Artinya, masih ada masyarakat menganggap perilaku 3M dan 3T adalah dua hal terpisah, pada kenyataannya hal itu merupakan satu paket dalam memutus mata rantai penularan Covid-19.

“Kampanye 3M di awal-awal sangat kencang sekali dan terus berjalan sampai sekarang. Jika 3M tidak berjalan, maka 3T pasti akan lebih parah. Sekarang 3M sudah berjalan, saatnya kita mulai membicarakan 3T,” ucapnya.

Soeprapto juga mengemukakan salah satu faktor penghambat kampanye 3T adalah ketakutan atas stigma masyarakat. Pemerintah perlu menghimbau masyarakat agar tidak mengucilkan pasien positif Covid-19, namun memberikan dukungan dan keprihatinan agar stigma negatif di mata publik bisa menghilang. (mtd/min)